Suara ayam berkokok berpadu bersama kicauan burung yang berarakbersama
awan-awan yang menjatuhkan air embun ke bumi membuat segar dan begitu
indah pagi ini yang diawali dengan teriakan Sarah yang membangunkanku.
Akupun segera bersiap-siap untuk kebarangkatan kita hari ini ke Kuala
Lumpur, Malaysia. Ketika kami sampai di bandar udara, ternyata
keberangkatan pesawat yang akan kami tumpangi baru akn akan terbang satu
jam kemudian, sehinnga kami harus menunggu lagi. Akhirnya pesawat
kamipun terbang, dan mendarat kembali dengan selamat. Kami langsung
menuju hotel yang akan menjadi tempat peristirahatan kami selama kami
berada disini. Kamipun langsung membereskan barang-barang yang kami bawa
dan mempersiapkan segala sesuatu untuk penampilan kami besok.
Alunan nada yang terdengar di dalam gedung sampai ke depan pintu
gerbang gedung tepat dimana aku berdiri saat ini, sungguh telah membuat
jantungku berdetak lebih kencang dari, sebelumnya seperti genderang yang
akan berperang. Namun aku teringat akan pesan ibuku. Beberapa helaan
nafas yang cukup menenangkan hati dan ketegangan jiwa ini. Aku pun
melangkahkan kaki ke dalam gedung yang megah dan berkilauan lampu-lampu
ini. Aku duduk di bangku jajaran kedua dari pengunjung. Terlihat siswa
dan siswi dari berbagai negara memenuhi seluruh isi gedung.
Setelah
beberapa banyak negara yang menampilkan kebudayaan mereka, tibalah
saatnaya kelompokku untuk menampilkan Tari Piring. Bersyukur aku kepada
Tuhan, karena penampilan yang kami tampilkan berjalan sukses dan
mendapat respon baik dari para pengunjung.
Sehabis semua negara
menampilkan kreasi seninya, kegiatan dilanjutkan dengan mempersentasekan
kebudayaan masing-masing negara di stand yang telah disiapkan oleh
panitia. Persentase ini di tujukan kepada para pengunjung yang
mengunjungi stand milik negara mereka tersebut.
“Kan, kmu ada jadwal buat jaga stand tidak?”
“Tidak juga sih.”
“Sar, aku bosan nih.”
“Terus bagaimana?”
“Bagaimana kalau kita berkeliling gedung ini, dan melihat-lihat stand milik negara lain juga?”
“Tapi aku lelah sekali.”
“Ayolah, sebentar saja Sar.”
“Baiklah.”
Akhirnya, akupun pergi dari stand untuk berkeliling gedung untuk melihat-lihat stand milik
negara lain.
Sampailah
kami pada stand yang diselimuti oleh para pengunjung. Karna aku
penasaran, aku dan Sarah mengunjungi stand tersebut. Alangkah
terkejutnya diri ini ketika yang ku lihat ini stand milik tuan rumah
yaitu, Malaysia. Yang membuat kami terkejut adalah ketika yang mereka
jajakan adalah beberapa kebudayaan yang berasal dari tanah air kita dari
berbagai aspek, dari pakaian adat,musik,juga makanannya.
“Kania,lihat ! itu kan rendang daging sapi yang suka di masak ibuku di rumah”
“Iya benar, itu juga permainan congklak yang sering aku mainkan saat kecil dulu.”
“Kan, perasaanku saat ini bagaikan seorang ibu yang kehilangan anaknya.”
“Ya, begitu sedih dan merasa sangat kehilangan.”
“Lalu , apa yang harus kita lakukan?”
“Akupun bingung, yang pasti kita tak bisa membatu terus seperti ini.”
“Ya sudah, lebih baik kita minta bantuan kepada yang lainnya.”
“Benar , lalu kita tegur mereka.”
Akupun
kembali ke stand milik kami. Terlihat kekesalan dan kemarahan dalam
wajah mereka ketika Sarah menceritakan semua kejadian yang baru saja
kami alami. Dan sepakat untuk menghampiri dan menegur mereka. Apalagi
dari kami ada Ila yang berasal dari keturunan Malaysia.
Kamipun
sampai tepat di depan stand milik Negara Malaysia. Sepertinya mereka
sudah mengetahui jika kami adalah siwi dari Indonesia. Karena mereka
terlihat menampakan wajah kegelisahan. Kamipun memulai pembicaraan yang
dimulai dari Ila.
“Permisi, perkenalkan kami siswi dari Indonesia.”
“Ya, selamat datang di negara kami.”
“Kami sangat memohon maaf, kami hanya ingin memastikan. Bukanakh yang anda jajakan ini berasal dari negara kami, Indonesia?”
“Maaf sekali anda memang benar. Seharusnya kami yang meminta maa, karena ini semua adalah kesalahan kami.”
“Tetapi mengapa anda melakukan ini semua terhadap tanah air kami?”
“Sebenarnya kami hanya ingin membantu memperkenalkan dan menyebarluaskan kebudayaan Indonesia kepada masyarakat dunia.”
“Tak ada cara lain kah?”
“Kami
atas nama Negara Malaysia sekali lagi memohon maaf yang
sebesar-besarnya atas kejadian yang terjadi hari ini. Dan kami tak akan
mengulaginya lagi.”
Kami memilih menyudahi pembicaraan ini dan kembali ke stand milik kami.
Rupanya
kawan-kawanku ini belum puas dengan menegur mereka, hingga ketika kita
sudah sam pai di depan stand mereka masih membincangkan kejadisn tadi.
“Ila, mau sampai kapan kita disini?”
“Rencananya, kita akan tinggal disini tiga hari dan tiga malam. Dan hari esok akan kita pakai untuk berkeliling Kuala Lumpur.”
“Lalu, jadinya bagaimana?”
“Karena
kita semua sudah muak dengan semua yang telah terjadi. Kita diam disini
akan menambah luka kita. Sebaiknya kita pulang ke Indonesia esok pagi.”
Kami
pulang dan beristirahat di hotel dengan dibalut rasa kecewa. Dan esok
harinya pun kami telah kembali ke tanah air. Diatas roda berputar yang
kini membawaku dari bandara ke asrama, aku masih terbayang kejadian
kemarin yang terekam oleh mataku dan disimpan di pikiranku. Bagai nasi
yang telah menjadi bubur, apa yang telah terlanjur terjadi tak bisa kita
hindari lagi. Yang kini ada hanyalah penyesalan dan kesedihan. Kita tak
harus menyalahkan orang lain, karena sebenarnya kitalah yang salah.
Kita tak pandai menjaga dan merawat semua yang telah diwariskan secara
turun-temurun oleh nenek moyang kita. Kita malah lebih bangga dengan
mengikuti kebudayaan bangsa asing yang entah dari mana. Pelajaran
disekolah yang mengajarkan tentang Seni dan Budaya Indonesia pun hanya
ada 2 jam pelajaran selama satu pekan. Ekstrakulikuler yang menmgajarkan
tentang Kesenian di Indonesia pun sangat sedikit peminatnya, apalagi di
kalangan remaja. Ini sangat ironis sekali,dan jika ini dibiarkan bisa
jadi semua kebudayaan yang dimiliki Indonesia habis direbut bangsa lain
tanpa sepengetahuan rakyat Indonesia sendiri. Aku ingin sekali
memperbaiki semuanya dan semoga langkah pertamaku ini bisa berdampak
baik untuk Indonesia.
“Sar, apa kamu setuju?”
“Untuk apa?”
“Aku ingin menyampaikan pesanku lewat surat kepada Presiden Republik Indonesia .”
“Apa yang akan kau sampaikan?”
“Aku ingin meminta bantuan kepada beliau terhadap kejadian kemarin dan memperbaiki semuanya.”
“Tentu, aku sangat setuju. Kapan kau akan menulisnya?”
“Sepaertinya besok, setelah kita sampai ke asrama.”
“Baiklah. Semoga hasilnya memuaskan dan mendapat respon yang baik dan seperti yang diharapkan.”
Setelah
aku dan kawan yang lainnya sampai, kamilangsung kembali merapikan
barang-baraang dan beristirahat. Rasanya ingin sekali hari esok segera
datang agr aku bisa lebih cepat untuk menulis surat untuk Bapak Presiden
Indonesia.
Pagi ini aku yang biasa dibangunkan oleh Sarah ternyata
bisa bangun sendiri dan lebih awal. Setelah melaksanakan kewajibanku,
aku langsung mengambil kertas dan pena. Mulailah aku menggerakkan tangan
dan menggoreskan tinta diatas dua lembar kertas ini.
Kulipat surat
ini dan lansung kumasukkan kedalam amplop dengan prangko, kemudian
menitipkan kepada pembina kamarku untuk dikirim melalui kantor pos.
Sudah
tiga hari kukirim suratku, tetapi belum pula ada kabar. Tiba-tiba aku
dipanggil oleh pembina, beliau bilang ada yang mencariku. Alangkah
senangnya diriku ketika yang datang mencariku adalah Bapak Presiden
Indonesia yang biasa dipanggil denganb panggilan bapak SBY. Kamipun
berbincang-bincang di ruang tamu asramaku.
“Terima kasih ya Pak telah merelakan waktu Bapak untuk datang dan berbincang dengan saya.”
“Ya, judtru Bapak yang harus berterimakasih kepada kamu, karena karena telah memberitahu semua ini.”
“Jadi
begini Pak, saat kami mengikuti kegiatan tersebut, kami melihat yang
dijajakan di stand milik Negara Malaysia itu banyak yang berasal dari
Indonesia.”
“Wah, itu menyedihkan sekali. Kita memang sudah lupa kepada cinta kita terhadap tanah air sendiri.”
“Benar
Pak, rakyat Indonesia berani membiarkan budaya yang dimilikinya diambil
oleh negara lain. Contohnya saja, bagaimana mungkin Malaysia mengetahui
resep untuk memasak rendang daging sapi kalau bukan dari rakyat
Indonesia itu sendiri.”
“Rakyat kita memang telah dibodohi.”
“Itulah yang kita khawatirkan Pak. Indonesia bisa hancur karena rakyat Indonesia itu pula.”
“Tapi
Bapak begiru bangga. Akan adanya kalian, yang masih bisa mempertahankan
cinta kalian terhadap Indonesia. Yang masih mempunyai militansi yang
besar terhadap negara.”
“Itu memang kewajiban kami sebagai warga Negara Indonesia.”
“Tapi
begitu banyak warga yang meninggalkan kewajiban itu. Ketika Indonesia
telah terangkat namanya, mereka bersorak-sorak merasa bangga. Tetapi
ketika indonesia sedang berada dibawah, bukan dukungan yang mereka
berikan agar Indonesia bangkit kembali, yang mereka berikan hanya cacian
dan hinaan terhadap Indonesia.”
“Jadi yang harus kita lakukan sekarang adalah mengangkat kembali kecintaan negeri yang terlupakan.”
“Tenang
saja Nak, sebenarnya itu bukan tugas kamu. Ini adalah tugas Bapak
sebagai Kepala Negara. Tugasmu hanyalah belajar dengan tekun agar
generasi muda Indonesia selanjutnya lenih baik lagi.”
“Baiklah kepercayaan kami ditangan Bapak.”
“Ya sudah kalau begitu Bapak pamit pulang dulu yah.”
Akhirnya,
sudahlah perbincanganku dengan Pak SBY. Harapanku selanjutnya,
Indonesia baik secepatnya. Kejadian kemarin tak akan terulang kembali.
Dan kami sebagai generasi muda Indonesia akan mengubah Indonesia menjadi
lebih baik lagi, karena Indonesia ada di genggaman kami. Dan juga tak
akan melupakan cinta kami kepada negeri ini, Indonesia.
PROFIL PENULISNama : Sofiatun Nisa
TTL : Cianjur, 12 Agustus 1998
Sekolah : SMA PLUS YASPIDA SUKABUMI
Pesantren : Daarussyifa AL-Fitrah Sukabumi
Kelas : X IPA 1
Alamat : Jl. Raya Cibarusah rt 04/04 Desa Sukaresmi Kec Cikarang Selatan Kab. Bekasi.
Facebook : Sofia Finieza Niez
No. Urut : 1538
Tanggal Kirim : 06/10/2013 13:02:44
Baca juga
Cerpen Sosial yang lainnya.